Randu. Jam 2 dinihari tiga orang remaja usia antara 15 sampai 16 tahun berjalan sempoyongan. Entah dari mana. Yang jelas dari mulut mereka keluar aroma tidak sedap dari minuman tuak yang terbuat dari air nira ataupun mayang kelapa.
Berjalan saling merangkul bahu. Mungkin untuk saling menopang agar tidak terjatuh. Terdengar kalimat-kalimat ngelantur dan tidak sopan dari mulut mereka. Kadang tertawa lepas.
Di mulut gang mereka berpisah. 2 orang melanjutkan perjalanan menuju rumah masing-masing. Sementara Randu, yang berjalan sendirian agak bersusah payah mencapai salah satu kapal nelayan yang telah menjadi rumah baginya sejak hampir satu tahun terakhir. Semenjak dia terusir dari rumah pamannya karena tanpa bisa ditahan lagi kentut di depan sang paman yang sedang makan.
Sebuah tamparan mendarat di pipinya lalu pakaiannya di lemparkan keluar. Pakaian yang tidak seberapa tersebut berserakan di halaman. Tidak tahu bagaimana perasaan sang ponakan ketika memungut satu persatu pakaian tersebut dan mengepitnya di bawah ketiak.
Tidak ada rumah lain yang akan dia tuju. Melangkah dengan berat tanpa tujuan.
Dia berhenti di taman dekat dermaga kapal nelayan. Berjarak sekitar 300 meter dari rumah adik sang bapak.
Matanya menatap langit. Tidak ada suara, tidak ada tangis dan tidak ada ekspresi. Hanya terlihat dia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam. Mungkin sedang menata hatinya.
Randu adalah remaja 15 tahun. Hidup sebatang kara. Ayahnya meninggal terseret jaring waktu melaut, ketika dia masih berumur 7 bulan dalam kandungan. Usia 2 bulan setelah kelahiran ibunya menyusul sang ayah. Meninggal karena sakit yang tidak diketahui sebabnya.
Hingga usia 6 tahun dalam pengasuhan sang nenek yang sangat miskin dan meninggalkan sang cucu untuk selamanya seminggu sebelum tanggal ulang tahun anak dari putri satu-satunya.
Jadilah Randu hidup dari rasa kasihan orang-orang di sekitarnya. Tinggal dan pergi dari rumah satu ke rumah lainnya. Kemiskinan menjadikan para tetangga tidak bisa memelihara yatim piatu ini secara utuh.
Di saat usia 10 tahun sang paman mengajak ponakannya untuk tinggal di rumah kontrakan kecilnya. Hingga saat pakaian dibuang, kata-kata kasar, makian dan kekerasan fisik seringkali didapatkan dari keluarga sang paman. Baik dari bibi, paman ataupun sepupunya yang seusia. Semua ditahan dan tidak dirasakan demi mendapatkan keluarga dan rumah tempat pulang.
Sejak usia 10 tahun pula anak tersebut sudah merasakan kerasnya kehidupan laut. Untuk usia anak seperti dia, penghasilan melaut semestinya sudah sangat layak baginya untuk hidup yang semestinya tapi karena dia selalu memberikan pada istri sang paman untuk membantu kehidupan mereka, maka hampir saja selalu kekurangan untuk jajan.
Tubuh kurus dengan tinggi lebih dari 165 cm telah sampai pada kapal tempat dia tinggal. Sekaligus penopang kehidupannya. Pemilik kapal mengizinkan anak berwajah pas-pasan itu untuk menjadikan kapal dengan awak 6 orang itu sebagai tempat tinggal bagi Randu.
Bersusah payah tubuh dalam kondisi oleng itu memasuki kapal dan menuju tempat dia tidur. Maksud hati dia ingin segera terlelap. Walau tidak sepenuhnya sadar, matanya menemukan kalau pakaiannya yang disimpan dalam kardus sudah berantakan. Dia mencari-cari sesuatu di setiap pakaian yang berserakan. Berulangkali memeriksa dasar kardus. Tapi yang dicari malah tidak ada.
Uang dari hasilnya melaut selama tinggal di kapal ini dia simpan baik-baik di dasar kardus. Malam ini, semuanya hilang. 5 juta rupiah tidak tersisa sama sekali. Siapa yang setega itu?
Randu panik. Sesaat dia menatap langit-langit kapal dengan putus asa. Harapannya untuk membuat nisan bagi kedua orang tua dan neneknya sirna seiring lenyapnya uang tersebut.
“Tuhan….” Antara terdengar dan tidak.
Sesaat kemudian dia melangkah keluar. Terjun ke dalam air dermaga yang dalam.
“Ayaaaahhhh…..” Dia berteriak dalam air.
“Ibuuuuu….” Teriakannya menimbulkan gelembung di dalam air dan gelembung tersebut menuju permukaan.
“Neneeeeekkk….” Remaja malang ini sesenggukan di dalam air.
Muncul ke permukaan hanya untuk mengambil nafas dan kemudian menyelam kembali.
Air matanya bercampur dengan air. Tidak ada yang melihat tangisan itu. Selama dia bisa mengingat, inilah tangisan pertamanya.
Menjelang azan subuh tubuh basah itu naik ke kapal. Duduk memeluk lutut. Gerahamnya merapat menahan dingin. Tidak, dia tidak merasakan dingin. Dia menahan agar air matanya tidak turun kembali.
Azan subuh dari mesjid yang tidak jauh dari kapal di mana dia berada berkumandang merdu. Khusuk dia menyimak kata perkata. Tanpa dia inginkan, air mata kembali mengurai. Wajah basah itu dia sembunyikan di antara kedua lututnya
“Tuhan, kuatkan hati dan tubuhku…” Pintanya pada sang Pencipta. Sangat mengiris hati bagi yang mendengarnya.
Setelah azan zuhur, Anwar dan Raga memasuki kapal. Memanggi-manggil sahabat mereka. Tidak ada jawaban. Keduanya melangkah lebih dalam.
Di sudut ruang mesin, mereka menemukan Randu tertidur pulas. Meringkuk dengan pakaian yang lembab.
“Ndu, Randu, bangun!” Tidak terbangun. Anwar membangunkan lebih keras lagi. Tidak ada reaksi.
Dengan menggoyang-goyangkan bahu, Raga berusaha membuat Randu terjaga. Dan itu tidak sia-sia.
Ketika matanya sudah jelas melihat sosok 2 sahabatnya, dia tersenyum dan segera bangkit.
“Kenapa pakaianmu basah, Ndu?” Anwar sedikit khawatir dengan kondisi sahabatnya.
Dia pura-pura tidak mendengar kalimat remaja yang sedikit lebih muda darinya itu. Remaja yang dibesarkan oleh sang nenek dari bayi karena kedua orang tua bercerai sebelum dia lahir.
Sementara Raga sedikit lebih beruntung. Kedua orang tuanya masih lengkap walau dalam kondisi yang sangat kekurangan di kampung halamannya.
Lulus sekolah dasar Raga memutuskan untuk merantau. Dan dia memilih kampung nelayan ini sebagai harapan mengubah kehidupan.
Raga mengajak kedua temannya untuk meninggalkan ruang mesin yang pengap oleh aroma minyak solar. Ketiganya menuju buritan kapal. Bersenda gurau tentang kisah mereka tadi malam.