Jakarta - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai bonus demografi ternyata belum menjadi kekuatan bagi Indonesia yang bisa membawa lompatan kesejahteraan.
Sebab, usia produktif yang digadang-gadang untuk bisa membawa lompatan kesejahteraan itu ternyata, partisipasi pendidikan tingginya masih relatif rendah, akibat tekanan ekonomi yang mereka alami.
"Bonus demografi ini, ternyata dalam perjalanannya tidak semudah yang kita harapkan. Momentum ini tidak jadi meledak, karena ternyata usia produktif yang digadang-gadang itu, partisipasi pendidikannya relatif rendah," Dadi Krismatono, Ketua Bidang Narasi Partai Gelora dalam Gelora Talk Bertajuk 'Generasi Sandwich, Para Pemikul Beban di Usia Produktif, Sabtu (17/9/2022).
Menurut Dadi, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta sudah mengingatkan hal ini dalam bukunya 'Gelombang Ketiga Indonesia' yang telah ditulis pada 2013-2014 lalu.
"Memang ada problem kultural dan struktural dalam rantai ekonomi kita. Keluarga dan agama tidak mungkin menjadikan orang Indonesia itu individual, sehingga generasi penerus ini menjadi pemikul beban dan harus mengesampingkan urusannya sendiri," ujarnya.
Namun, Dadi optimis generasi sandwich atau generasi para pemikul beban ini bisa keluar dari kompleksitas masalah tersebut, meskipun ada nilai-nilai sosial dan agama yang tidak bisa dihilangkan.
"Karena saat ini, siapa yang akan mengurusi lansia (orang tua mereka). Nilai-nilai seperti ini tidak mungkin dihilangkan, tetapi kami optimis akan ada solusi revolusioner yang akan menjadi role model," katanya.
Partai Gelora, lanjutnya, akan terus memberikan literasi kepada masyarakat mengenai bonus demografi dalam perspektif bangsa, karena sangat strategis untuk lompatan kesejahteraan.
"Mungkin ada solusi-solusi baik dari segi kebijakan kelembagaan, bahkan dari anggaran negara dan lain-lain. Kita harus gulirkan ini terus, karena punya implikasi terhadap kita sebagai bangsa," tegasnya.
Kepala Pusat Riset Kependudukan BRIN Nawawi Ph.D mengatakan, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan beberapa solusi terkait generasi sandwich, diantaranya masalah jaminan kesehatan.
Solusi pemerintah tersebut, juga untuk mengatasi adanya peningkatan percepatan jumlah lansia yang cukup tinggi. Sehingga program Indonesia Emas yang dicanangkan tidak terhambat.
"Kami sedang melakukan kajian berbasis komunitas, bagaimana para pemikul beban ini tidak terus menjadi korban dengan adanya partisipasi masyarakat, dimana beban-bebannya bisa dikurangi. Kita melakukan pemberdayaan masyarakat di Jogja yang akan kita jadikan role model," kata Nawawi.
Khusus mengenai lansia, BRIN merekomendasikan agar pemerintah mengadopsi sistem jaminan sosial di Jepang. Namun, dampak yang harus diantisipasi adalah timbulnya individualisme, karena di kita keluarga dan agama menjadi berkah tersendiri.
"Pada masyarakat kita yang menarik, sebenarnya mereka (generasi sandwich, red) mengatakan, hal itu bukan menjadi beban terkait beban-beban ekonomi. Tetapi bagaimana kedepannya bisa bertahan ini, hal yang menarik untuk menjadi catatan," katanya.
Sebab, pengeluaran yang dikeluarkan oleh generasi sandwich ini untuk orang tua, anak dan lain-lain tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka hasilkan, namun hal itu tidak dianggap sebagai sebuah masalah besar.
"Agama dan budaya itu sampai saat ini masih kuat, sehingga kita tidak bisa memutus mata rantainya. Inilah tantangan kita sebagai bangsa, kita bisa menjaga identitas kita sebagai orang Indonesia," ujarnya.
Executive Director youth Laboratory Indonesia Muhammad Faisal menambahkan, generasi sandwich di Indonesia memiliki kelebihan dan perbedaan jika dibandingkan dengan generasi serupa di negara lain.
"Yakni kita selalu perhatian sama orang tua, bahwa membahagiakan orang tua masuk surga. Jadi santunan atau hadiah untuk orang tua itu, dilakukan secara volunteering, bisa dikatakan secara ikhlas bukan sesuatu yang menjadi beban," kata Faisal.
Faisal mengatakan, sebagian besar masyarakat Indonesia melihat kesuksesan ekonomi itu sebagai sebuah kebahagiaan dalam budaya dan politik kita.
"Artinya kesuksesan sebagai sesuatu yang sifatnya kolektif secara ekonomi. Dimana kebahagiaan itu, dilihat berbeda antara budaya individualis dengan budaya politik di Indonesia. Dan itu itu yang bisa menjadi kunci, bagaimana kita bisa melampaui krisis saat ini," katanya.
Peneliti Litbang Kompas Advent Krisdamarjati mengatakan, Litbang Kompas menemukan fakta dari jajak pendapat bahwa generasi Y dan Z menjadi satu kelompok masyarakat yang dominan sebagai generasi sandwich.
"Generasi sandwich ini mencapai 56,7 juta. Mereka kebanyakan menjalankan kerja sampingan untuk tambahan dalam memenuhi kebutuhan. Mereka menanggung beban ganda dalam mempersiapkan finansialnya untuk hari tua," kata Advent.
Dalam jajak pendapat itu, Litbang Kompas juga menemukan fakta bahwa generasi sandwich wajib dan wajar memikul beban orang tua. Fenomena generasi sandwich saat ini sudah berlangsung empat generasi.
"Namun, sebagian merasa hal ini sangat membebani mereka. Sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan atau mengejar cita-cita mereka sendiri karena lebih banyak biaya yang dikeluarkan bukan untuk kebutuhan mereka sendiri," katanya.
Apa yang dialami usia produktif ini, kata Advent, cukup membahayakan bagi keberlanjutan bonus demografi Indonesia, karena mereka terlalu sibuk dan kewalahan untuk membiayai yang bukan menjadi tanggung jawab sesungguhnya.
"Dari sinilah sebenarnya menjadi rambu-rambu, bahwa harus segera dilakukan penanganan yang nyata untuk membantu mereka," katanya.
Pertama dari segi lingkungan keluarga atau individu dengan memberikan kemandiran edukasi tentang kemandirian finansial seperti menabung.
Kedua mendorong komunitas yang ada untuk membantu lingkungan keluarga dengan memberikan edukasi dan bimbingan bagi mereka yang mengalami kesulitan keuangan seperti mempersiapkan perkawinan secara mental dan kesehatan dengan benar.
"Terakhir perlu ada penanganan untuk memutuskan lingkaran dengan pola finansial atau memperkuat jaminan sosial. Disinilah peran pemerintah dalam mengambil kebijakan, karena bisa jadi daya beli mereka melemah," pungkasnya.