Pajak yang dibayarkan sejatinya kembali ke rakyat melalui pengeluaran negara di bidang kesehatan dan pendidikan. Ironinya, kadang sebagian dari kita salah kaprah terkait pemahaman mengenai pajak. Dikiranya pajak sebagai beban finansial yang tak berdampak pada pembayarnya. Disangkanya pajak hanya untuk memperkaya oknum-oknum tertentu. Terlebih ketika ada pegawai perpajakan yang terlibat kasus atau skandal. Sebagian dari kita langsung menghakimi. Padahal, itu ulah oknumnya. Tidak ada sangkut pautnya dengan institusi perpajakan dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Lantas, yang menjadi pertanyaan yaitu bagaimana membangun kesadaran masyarakat bahwa pajak yang telah diberikan itu akan kembali lagi dalam bentuk layanan di bidang pendidikan dan kesehatan? Sehingga, masyarakat tidak malas atau uring-uringan dalam membayar pajak. Tentu saja menyadarkan masyarakat tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sebab, kondisinya pun beragam, berangkat dari latar belakang yang berbeda-beda. Belum lagi warga yang tinggalnya di pelosok desa yang kadang belum memahami betul manfaat pajak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi, kita yang sebenarnya terkena kewajiban membayar pajak dan tak membayarnya, sudah menikmati fasilitas dari negara yang salah satu sumber pendanaannya dari pajak.
Selanjutnya, belanja negara di bidang pendidikan mendapatkan alokasi 20% dari APBN 2024 atau sebesar Rp665 triliun. Untuk bidang kesehatan mendapatkan alokasi sebesar Rp 187,5 triliun atau setara 5,6% dari total belanja negara. Di sisi lain, belanja negara dalam APBN 2024 yaitu sebesar Rp 3325,1 triliun. Sementara kontribusi dari pajak sebesar Rp 2309 triliun dalam APBN 2024 (djkn.kemenkeu.go,id). Separuh lebih penerimaan negara kita ternyata memang dari pajak. Semua itu nantinya dikelola sedemikian rupa untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat luas.
Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan publik memiliki dua tujuan dasar, yaitu efisiensi dan pemerataan (Castro-Leal et al., 2000). Efisiensi dapat dicapai ketika belanja publik menghasilkan manfaat eksternal atau mampu memperbaiki kegagalan pasar, termasuk peran pemerintah dalam pengadaan barang publik. Sementara itu, pemerataan dimaksudkan untuk meningkatkan distribusi kesejahteraan ekonomi atau distribusi pendapatan yang lebih adil. Begitu juga pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan yang sejatinya berlandaskan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sekali lagi, pajak adalah instrumen untuk mendukung pembangunan nasional. Melalui pajak, diharapkan pemerintah bisa menyediakan pendidikan yang layak dan fasilitas kesehatan yang sesuai standar. Hal itu untuk mewujudkan generasi yang cerdas, sehat, dan produktif dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045. Pajak yang dibayarkan sebenarnya dari, oleh, dan untuk rakyat itu sendiri.
Uang hasil pungutan pajak digunakan untuk peningkatan fasilitas pendidikan, pemberian beasiswa untuk kuliah, bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), gaji dan tunjangan guru/dosen, dan sebagainya. Begitu juga di bidang kesehatan; seperti halnya digunakan untuk percepatan penurunan stunting, peningkatan kualitas dan akses layanan kesehatan, peningkatan kualitas layanan dan distribusi tenaga kesehatan, penguatan teknologi kesehatan, dan sebagainya.
Secara teoritis, merujuk pada konsep indeks pembangunan manusia (IPM), peningkatan belanja negara pada bidang kesehatan dan pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sebab, dua dari tiga indikator untuk mengukur IPM adalah kesehatan (diukur dari angka harapan hidup sejak waktu lahir) dan pendidikan (diukur dari angka melek huruf penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah dewasa). Logika sederhananya, semakin besar anggaran negara yang digelontorkan untuk kedua bidang tersebut, maka akan berdampak langsung pada peningkatan kualitas SDM-nya. Besar kecilnya anggaran tersebut bergantung pada penerimaan negara, salah satunya di sektor pajak. Hal itu juga berkaitan dengan sejauh mana kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
Terakhir, dalam membangun kesadaran masyarakat terkait kewajibannya membayar pajak, tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sebab, setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi budaya, sosial, pendidikan, dan semacamnya. Ada yang sadar, setengah sadar, atau bahkan tidak sadar. Ada yang mengerti, setengah mengerti, dan tidak mengerti sama sekali. Dalam hal ini, salah satu kunci utamanya, hemat saya adalah menggencarkan kampanye sadar pajak seluas-luasnya dan berkelanjutan. Secara terencana, terarah, dan sistematis. Sosialisasi semasif mungkin bahwa pajak yang dibayarkan akan terasa manfaatnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Terutama dalam topik bahasan kita yaitu terasa manfaatnya dalam peningkatan layanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Tentunya semua tujuannya yaitu menciptakan generasi yang cerdas dan sehat. Cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Sehat secara jasmani dan rohani. Pemerintah dan rakyat ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Saling terkait dan terhubung. Jadi intinya, pajak itu dari kita untuk kita.
*) Muhammad Aufal Fresky, Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’, Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya, Pelaku UMKM Batik Tulis Madura.