Bengkulu - Subkoordinator Perlindungan Hutan dan KSDAE, Bidang Perencanaan Pemanfaatan Hutan dan KSDAE, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan provinsi Bengkulu Jhoni Hendri, S.Hut, mengatakan pendataan atau dokumentasi kerusakan hutan di Bengkulu baru 50%. Minimnya dukungan sarana dan prasarana, seperti kendaraan off-road dan drone, menghambat upaya pemetaan dan pengawasan.
"Kondisi hutan yang dapat didokumentasikan secara detail, itu baru 50 persen, bukan kerusakannya ya. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaannya, tentu hal ini jadi pekerjaan kita," ujarnya.
Jhoni menjelaskan kawasan hutan di beberapa wilayah, seperti Kaur, Bengkulu Selatan, Seluma, Mukomuko, Bengkulu Utara, dan Lebong, mengalami degradasi signifikan akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan dan aktivitas perusahaan.
“Wilayah seperti Mukomuko, yang terdiri dari kawasan hutan produksi dan konservasi, kini menghadapi tekanan akibat pembukaan lahan untuk sawit,” ungkapnya.
Selain itu, kawasan yang berfungsi sebagai koridor gajah di kabupaten Bengkulu Utara - Mukomuko juga mengalami ancaman serius.
Jhoni juga menyoroti permasalahan terkait alih fungsi lahan di kawasan izin perusahaan, seperti PT ALNO-Estate dan PT API. Laporan masyarakat menunjukkan bahwa beberapa perusahaan membuka lahan cadangan yang seharusnya tidak boleh digarap.
Selain itu, kawasan hutan di daerah seperti Seluma, Bengkulu Selatan, dan Bengkulu Tengah juga mengalami kerusakan akibat aktivitas tambang dan perkebunan.
“Kerusakan hutan di Bengkulu Selatan, misalnya, banyak terjadi di perbatasan dengan Pagar Alam, sementara di Seluma, tambang emas telah memicu kerusakan signifikan di kawasan Bukit Barisan,” jelas Jhoni.
Dalam menjalankan tugas pengamanan, Jhoni mengungkapkan kendala besar berupa keterbatasan jumlah personil Polisi Kehutanan (Polhut) yang saat ini hanya berjumlah 14 orang di tingkat provinsi.
“Jumlah ini sangat tidak mencukupi untuk mengawasi seluruh kawasan hutan yang luas di Bengkulu, terutama dengan medan yang sulit dijangkau,” katanya.
Pemerintah Provinsi Bengkulu, melalui program REDD+ yang memantau emisi gas rumah kaca, telah mengalokasikan dana sebesar Rp11 miliar untuk mendukung upaya pencegahan deforestasi. Namun, Jhoni menegaskan perlunya koordinasi lebih baik antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk melindungi kawasan hutan.
“Kami berharap ada peningkatan anggaran dan tambahan personil, agar perlindungan hutan dapat dilakukan secara maksimal. Hutan adalah aset penting yang tidak hanya menopang kehidupan lokal, tetapi juga berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim secara global,” tutupnya.